Gubernur APT Pranoto, Akhir Pilu Sang Pendukung Kemerdekaan
Gubernur pertama Kalimantan Timur , Aji Pangeran Tumenggung Pranoto (ilustrasi: Danoo).
Sosok gubernur pertama
Menderita di dalam penjara
Ditulis Oleh: Fel GM
25 Mei 2018
kaltimkece.id Di dalam ruang kerjanya, Aji Pangeran Tumenggung Pranoto menerima dua gerilyawan kemerdekaan. Mereka segera terlibat perbincangan serius di dalam keraton Tenggarong. Kepada Pangeran Pranoto, menteri sekaligus kepala kepolisian Kesultanan Kutai, pejuang memohon agar Pemerintah Kutai menyokong pergerakan rakyat.
Kedua orang yang bertamu pada 1946 itu adalah Djenal dan Anang Pilif. Mereka diutus Barisan Sadewa, organisasi bawah tanah bentukan pejuang Samarinda dan Tenggarong. Para utusan segera menyampaikan dua butir permohonan. Pertama, sejumlah organisasi pejuang kemerdekaan meminta Pemerintah Kutai turut membantu pergerakan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Butir kedua berisi permintaan lanjutan. Bila mana Pemerintah Kutai tidak dapat membantu, cukuplah tutup mata atau pura-pura tidak tahu. Jangan sampai, kata kedua utusan, pihak istana membantu Belanda menangkapi dan memusuhi para pejuang di wilayah Kerajaan Kutai (Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan: Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara, 2018).
Selepas permohonan disampaikan, Djenal dan Anang menunjukkan Piagam Atlantik kepada APT Pranoto. Piagam yang ditandatangani sejumlah negara pada 14 Agustus 1941, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda, mengakui kedaulatan dan hak bangsa-bangsa memilih bentuk pemerintahan. Delapan kesepakatan di dalam piagam adalah dasar pembentukan Persatuan Bangsa-Bangsa (The United Nations, 1997).
Setelah menyimak dan meneliti permohonan para pejuang, APT Pranoto memberi tanggapan. Kesultanan, kata APT Pranoto yang merupakan saudara Sultan Aji Muhammad Parikesit, bersedia membantu para pejuang. Mendengar jawaban itu, kedua pejuang kemudian meninggalkan istana.
ÔÇ£Para pejuang berterima kasih karena kedua utusan Barisan Sadewa pulang dengan selamat tanpa gangguan apa-apa,ÔÇØ tulis Elham Alie, ketua Barisan Sadewa Cabang Tenggarong, yang menunggu di luar istana ketika APT Pranoto menemui para utusan. Testimoninya dimuat dalam buku Gelora Mahakam dalam Cuplikan Tulisan (1981).
Ucapan APT Pranoto benar-benar dibuktikan. Dalam kapasitas resminya sebagai kepala kepolisian Kutai, dia memilih menutup mata terhadap pelbagai kegiatan perjuangan di wilayahnya. Menurut Burhan Djabier Magenda, penulis East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy (2010), APT Pranoto dapat dianggap sebagai anggota keluarga kesultanan yang mendukung pembentukan Republik Indonesia.
Menjadi Gubernur
APT Pranoto lahir di Tenggarong pada 14 September 1906. Ia adalah anak ketujuh Sultan Aji Muhammad Alimuddin. APT Pranoto lulus dari OSVIA, Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren, di Makassar. Sekolah tersebut merupakan pendidikan bagi calon pegawai bumiputra zaman Hindia Belanda.
Setelah masa perjuangan berakhir pada 1949, Kesultanan Kutai menyatakan bergabung dengan negara kesatuan. APT Pranoto memilih jalur politik. Dia bergabung dengan Partai Indonesia Raya besutan Hazairin Harahap, pakar hukum adat yang menjabat sebagai menteri dalam negeri.
Tangga politik membawa kecemerlangan bagi karier birokrasi APT Pranoto. Dia diangkat sebagai bupati yang diperbantukan kepada gubernur Kalimantan pada 26 Februari 1952. Gubernur Kalimantan Milono kemudian mengangkat APT Pranoto sebagai residen Kaltim, selanjutnya acting gubernur Kaltim pada 9 Januari 1957. Tanggal itulah yang menjadi hari ulang tahun provinsi.
APT Pranoto mencapai puncak karier birokrasi ketika diangkat sebagai gubernur pertama Kaltim pada 1959. Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara di Sungai Siring, Samarinda Utara, yang diresmikan hari ini, 24 Mei 2018.
Penangkapan oleh Militer
APT Pranoto sudah menyelesaikan tugas sebagai gubernur Kaltim pada 1962 ketika Panglima Komando Daerah Militer IX/Mulawarman dijabat Kolonel Suhario Padmodiwiryo. Suhario, dikenal dengan nama pena Hario Kecik, adalah perwira muda yang berasal dari pejuang angkatan 45.
Semangat revolusi Suhario sangat kuat. Dia segera menjalin hubungan dengan kelompok pejuang di Balikpapan dan Samarinda. Suhario juga berhubungan dekat dengan PNI, Partai Nasional Indonesia, yang berbasis di Samarinda. Sebagian anggota PNI adalah serikat pekerja dari perusahaan minyak di Balikpapan yang berafiliasi dengan PKI, Partai Komunis Indonesia (East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, 2010).
Kedua kelompok itu disebut tidak menyukai kepemimpinan APT Pranoto karena latar belakang kebangsawanannya. Adapun Pangdam Suhario, dengan semangat revolusi yang meluap-luap, juga dianggap membenci kalangan darah biru. Dia segera memulai gerakan dengan melancarkan tuduhan kepada para bangsawan Kutai.
Para bangsawan disebut mencoba menghidupkan kembali pemerintahan feodal atau swapraja lewat kerja sama dengan pemberontak asing. Kaum ningrat, tudingnya, kurang membantu gerakan revolusi yang dicanangkan Presiden Soekarno, sebagaimana cuplikan tulisan Anwar Soetoen dalam buku Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai (1975).
Atas tuduhan yang disebut mengada-ada itu, Suhario mengirim tentaranya ke Tenggarong pada 1962. Dia menangkap bangsawan terkemuka Kutai yakni Sultan Parikesit, APT Pranoto, dan Aji Raden Padmo. Mereka dimasukkan ke penjara di kompleks militer di Balikpapan. Suhario disebut melanjutkan aksinya dengan pembakaran sejumlah atribut kesultanan di halaman istana. Pada rentang waktu berbeda, Suhario juga disebut-sebut bertanggung jawab dalam pembakaran dan pembantaian keluarga Kesultanan Bulungan.
Berakhir Menderita
Dari tiga bangsawan yang ditahan di Balikpapan, APT Pranoto melewati hari yang paling berat. Dia dikenai tuduhan korupsi ketika menjabat sebagai gubernur. Tuduhan itu membuat APT Pranoto dikirim ke rumah tahanan militer di Jakarta.
Guru besar Universitas Indonesia, Burhan Djabier Magenda, menyelidiki perihal tuduhan itu. Dalam disertasi yang disusun untuk meraih gelar doktor di Cornell University, Amerika Serikat, Burhan menyajikan beberapa penjelasan. Kekeliruan administrasi, tulisnya, terbukti benar. Namun, APT Pranoto diyakini tidak mengambil dana untuk memperkaya diri sendiri.
Burhan mengutip tulisan Hifnie Effendi, tokoh pers Kaltim, yang mewawancarai Abdoel Moeis Hassan, Harun Nafsi, dan Oemar Dachlan, pada 1979. Moeis Hassan, gubernur setelah APT Pranoto, menyatakan kekeliruan ditemukan dalam pengelolaan anggaran provinsi sebesar Rp 13 juta. Adapun Harun Nafsi, menyebutkan bahwa kesalahan itu kemungkinan besar karena kebiasaan lama APT Pranoto. Dia memberikan dana pemerintah kepada koleganya, sebagaimana kebiasaan di Kesultanan Kutai. Namun, masih menurut Harun Nafsi, APT Pranoto hanya membantu teman-teman yang dia yakini membutuhkan uang.
Suhario sempat menyinggung keterlibatannya dalam tuduhan kepada APT Pranoto. ÔÇ£Saya sudah memberi tahu Menteri Dalam Negeri, Pak Ipik Gandamana. Beliau setuju, dan karena gubernur, kasusnya (APT Pranoto) ditangani Kejaksaan Agung. Persidangan akan berlangsung di Jakarta,ÔÇØ tulis Suhario dalam bukunya berjudul Sejarah Pemikiran Militer 2, Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2009).
Ucapan itu disampaikan Suhario kepada Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Abdul Haris Nasution, yang sedang melawat ke Kaltim. Nasution kemudian menjawab, ÔÇ£Ya, saya mengerti. Kamu adalah panglima pertama yang memperkarakan seorang gubernur tentang korupsi. Tetapi, jangan punya pikiran bahwa saya ke sini ada hubungannya dengan masalah itu.ÔÇØ
APT Pranoto kemudian dikirim ke pusat penahanan militer yang ditakuti di Jakarta. Dia melewati hari-hari yang pilu dan suram. APT Pranoto meninggal pada 1976 karena kondisi penjara yang buruk. Sosok pendukung Republik Indonesia yang menjadi gubernur pertama Kaltim itu wafat sebagai orang miskin. Dia meninggalkan istri tanpa rumah. Janda dari APT Pranoto, tulis Burhan Magenda, hidup merana karena harus menyewa rumah di kawasan miskin di Samarinda. (*)
Senarai Kepustakaaan
- Arnold, Jenna, 1997. The United Nations, California: Social Studies School Services.
- Kecik, Hario, 2009. Sejarah Pemikiran Militer 2, Sepanjang Masa Bangsa Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Magenda, Burhan Djabier, 2010. East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, Jakarta: Equinox Publishing.
- Sarip, Muhammad, 2018. Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan, Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kartanegara, Samarinda: RV Pustaka Horizon.