BECAK DAN KADRI OENING
Sejarah terbukanya sebuah kampong yang menjadi kota besar Samarinda dikutip dari buku dalam bahansa Belanda, ÔÇ£ Geschiedenis van Indonesie, ÔÇ£ karangan ÔÇ£ de Graaf ÔÇ£ penerbitan NV.Uitg.W.V.Hoeve, Den Haag tahun 1949 yang mengatakan asal usul kampong yang menjadi kota ini dibangun dan dibuka oleh orang suku Bugis dari Sulawesi yang dipimpin seseorang bernama ÔÇ£ Poea Adi , ÔÇ£ yang saat itu masih berada didalam wilayah kekuasaan kerajaan Van Koetai , pada tahun 1668. di Samarinda yang sekarang disebut Samarinda Seberang atas perintah Sultan Kutai sebagai suatu wilayah pertahanan kerajaan.
Karena perkembangan dan pusat kegiatan Perdagangan Belanda, maka kota Samarinda sekarang ini dibangun oleh Belanda pada tahun 1730 yaitu 62 tahun setelah Poea Adi membangun Samarinda Seberang. Namun demikian pembangunannya juga atas ijin dari Sultan Kutai, mengingat kepentingan ekonomi dan pertahanan masyarakat di daerah tersebut. Apalagi Belanda pada waktu itu juga menempatkan pasukan perangnya didaerah ini sehingga sangat menjamin keamanan bagi kerajaan Kutai dari serangan pihak bajak laut dari Solok Pilipina yang sering meresahkan penduduk.
Samarinda berkembang terus dengan bertambahnya penduduk yang datang dari Jawa dan Sulawesi sampai pada puncak Kemerdekaan tahun 1945 hingga keruntuhan Orde Lama yang digantikan oleh Orde Baru.
Peninggalan Orde Lama memang sangat terasa di Samarinda dan Kalimantan Timur pada umumnya. Hubungan antara daerah seperti Ke Tarakan, Bulungan, Nunukan, Berau, Balikpapan, Pasier Tanah Gerogot, Kutai dan sepanjang pedalaman Mahakam, hingga ke Samarinda selaku ibukota Provensi Kalimantan Timur sangatlah sulit dijangkau dalam waktu singkat.
Waktu tahun tahun dibawah tahun 1960 han, Kalimantan Timur baru memiliki Bandar udara sebanyak 3 buah. Dua diantaranya dipergunakan untuk umum yaitu Bandar Udara Balikpapan dan Tarakan, sedang satunya berada di Melak, adalah Bandar udara militer yang dibangun oleh Belanda dalam keperluan perang dunia ke II. Namun demikian Bandar tersebut tak dapat dipergunakan untuk keperluan sipil hingga massa kini.
Waktu itu Tahun 1966 adalah peralihan masa Orde Lama ke Orde Baru. Keadaan semuanya masih acak dan semeraut. Masalah keamanan rakyat memang terjamin dengan terbentuknya Hansip ( Pertahanan Sipil ) menggantikan OPR ( Organisasi Pertahanan Rakyat ) yang mendukung keberadaan Polisi dan TNI.
Samarinda sebagai ibukota provensi Kalimantan Timur dengan kota yang berkondisi kumuh dan semeraut. Kantor kantor dan pasar tak dapat dibedakan. Aturan lalu lintas jalan juga masih belum ada. Para pemakai jalan dengan seenaknya menggunakan kendaraan kemanapun tampa ada rambu rambu yang jelas.
Untung saja pada waktu itu kendaraan bermotor masih tak seberapa. Kendaraan bermotor masih banyak roda empat seperti Truck dan kendaraan dinas milik pemerintah. Sedang kendaraan umum lainnya didominasi oleh sepeda. Disamping ÔÇ£ Becak ÔÇ£ sebagai angkutan umum masyarakat keberbagai arah kota.
Kebutuhan angkutan umum kian hari kian meningkat. Waktu itu taxi sangat terbatas, yaitu hanya satu arah dari Pasar Pagi yang merupakan pusat perbelanjaan kota ke Karang Asam atau Air Putih muara dengan jarak sekitar 10 km, yang membentang disepanjang tepi Mahakam.Sedang untuk angkutan dalam kota dari arah pasar tersebut menuju Jembatan satu, atau daerah Selili, jembatan dua, dengan kampung jalan Banjar dan Sungai Dama,sedang jembatan tiga, daerah Tanjung Batu atau Sungai Pinang Luar, didominasi oleh angkutan Becak yang para pengemudinya kebanyakan berasal dari Sulawesi ( orang orang Buton dan Bugis ).
Mereka pendatang baik orang asal Buton, Makasar dan Bugis, adalah masyarakat yang dikenal sebagai masyarakat pekerja keras. Umumnya mereka menguasai, selain Becak juga buruh angkutan pasar dan pelabuhan. Kalau dibidang pertanian waktu itu kebanyakan dilakukan oleh orang orang Banjar asal Kalimantan Selatan, atau orang orang Bugis yang telah tinggal di daerah ini secara turun menurun.
Perubahan kota Samarinda dimulai ketika Walikota Kadri Oening yang diangkat dan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan Surat Keputusan No.Pemda 7/ 67/14-239 tanggal 8 November 1967 menggantikan Mayor Ngoedio yang bertugas sebagai pejabat tinggi pemerintahan Jawa Timur di Surabaya.
Kotamadya Samarinda pada waktu tahun 1950 terbagi tiga Kecamatan, yaitu Kecamatan Samarinda Ulu, Samarinda Ilir dan Samarinda Seberang dengan luas wilayah 167 Km persegi. Yang kemudian pada tahun 1960 wilayahnya diperluas menjadi 2.727 Km meliputi daerah Kecamatan Palaran, Sanga Sanga, Muara Jawa dan Samboja. Namun sekarang kembali terjadi perubahan daerah. Kota Samarinda hanya tinggal Kecamatan Palaran, Samarinda Seberang, Samarinda, Ilir, Samarinda Ulu, dan Samarinda Utara.
Sebelumnya Kadri Oening adalah salah seorang Wedana yang diperbantukan di Kotamadya Balikpapan, dan juga pernah menjadi Camat Sangkulirang pada masa Orde Lama. Dalam pergerakan politik semasa menjelang kemerdekaan Kadri Oening tidak banyak disebut. Tetapi bukan berarti dia tidak turut ambil bagian dalam sejarah perjuangan.
Kadri Oening adalah walikota sipil pertama setelah menggantikan dua walikota sebelumnya yaitu Kapten TNI ÔÇô AD Soejono, dan Mayor. Ngoedio yang juga dari TNI-AD. Kadri Oening dalam perannya selaku walikota memang cukup banyak. Disana sini dia mulai melakukan perubahan wajah kota. Yang pertama dia melakukan pelebaran jalan jalan dalam kota, dan mulai menata bangunan dan pembangunan.
Wajah kumuh dari berbagai bangunan kota serta jalan batu dan bopeng mewarnai kehidupan sehari hari. Daerah kota yang kumuh ini dimalam hari menjadi tempat tempat hiburan liar yang diwarnai pelacuran dan pesta miras yang mulai meresahkan masyarakat. Sering terjadi perkelahian akibat minuman atau rebutan ÔÇ£ watunas ÔÇ£ istilah dulu yang berkepanjangan dengan kata wanita tuna susila.
Kadri Oening melihat perkembangan kota siang malam tak henti hentinya turun kelapangan melihat berbagai kekurangan yang harus dikerjakannya. Karenanya selain menata bangunan dan jalan jalan kota dia juga melihat kehidupan masyarakat, terutama para penarik ÔÇ£ Beca ÔÇ£ yang dirasanya perlu adanya perubahan. Jelasnya perubahan ini didasari dari rasa kemanusian yang sangat bertentangan pada Pancasila, yaitu pada Sila ke dua, ÔÇ£ Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.ÔÇØ
Hal ini terinfirasi dari pada suatu ketika Kadri Oening mencoba mengayuh becak dengan diisi seorang penumpang. Waktu itu dia menjadi pengemudi becak pada malam hari yang penumpangnya tak mengetahui kalau yang mengayuh becak tersebut adalah seorang Walikota. Jalannya memang tidak terlalu jauh, yaitu dari jalan Tugu ( sekarang Panglima Batur ) ke Tanjung Batu ( sekarang Jl.H.Agus Salim )
Disini Kadri Oening merasakan bagaimana beratnya hidup sebagai pengayuh Becak. ÔÇ£ Ini jelas tidak berperi kemanusiaan.ÔÇØ Katanya setelah usai dan menyerahkan becak yang dipinjam kepada pemilik becak sebenarnya. Sedangkan ongkos tarik becak tak sebanding dengan tenaga dan keringat yang mengucur deras. Karenanya Kadri Ouning merasa terenyuh akan kenyataan hidup sedemikian itu.
ÔÇ£ Disini tanah masih sangat luas untuk ditanami..?! Peluang pekerjaan lain juga masih cukup banyak dan terbuka.. Tetapi kenapa mereka mau bekerja sebagai penarik becak..?! ÔÇ£ itulah kata hatinya dalam mencari jawab. Tak hanya sampai disitu, Kadri Oening pergi pula mengunjungi beberapa keluarga penarik becak. Disini juga Kadri melihat akan keseharian hidup keluarga penarik becak ini. Dalam diam, Kadri mencari suatu keputusan agar nista kemanusiaan ini tak lagi ada di Samarinda.
Akhirnya dengan suatu pertimbangan, ke 1 . Usaha mencari nafkah dengan cara mendorong penumpang sekuat tenaga adalah bertentangan dengan jiwa dan semangat yang terkandung dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab.ke 2 Pemerasan tenaga dan keringat yang luar biasa untuk mendorong becak ternyata tidak memberikan penghasilan yang seimbang dengan pengorbanan yang telah dicurahkan untuk itu,.Ketidak seimbangan ini jelas tidak akan memberikan jaminan social ekonomi yang layak bagi kehidupan serta hari depan diri serta keluarga.
Faktor lain ditimbang dari segi kesehatan yang tidak seimbang, disamping azas tata tertib berlalu lintas serta tertib hukum. Selain itu ditimbang pula dengan kaitan azas Kamtibmas hingga stabilitas nasional.
Dengan berdasar dan pertimbangan tersebut maka diterbitkan Surat Keputusan Walikotamadya Tk.II Samarinda nomor 150 tahun 1974 dengan dimulai perhitungan 1 Januari 1975 diseluruh wilayah Kotamadya Samarinda adalah merupakan Daerah Bebas Becak.
Semenjak itulah Samarinda bersih dari Becak yang nota benenya memperbudak manusia. Kebijakan lain pihak Pemerintah Daerah memperbanyak angkutan umum dalam bentuk taxi kota. Dengan demikian kesemerautan berlalu lintas menjadi tertata dan tertib.
Begitu pula dengan daerah daerah kumuh dan rawan seperti ÔÇ£ Pasar Sementara ÔÇ£ serta tempat mesum ÔÇ£ Gulinggang. ÔÇ£ dibersihkan dan dibangun dengan bangunan bangunan resmi serta kokoh sebagai pusat pusat perbelanjaan, dengan sebutan Shopping Center Pinang Babaris yang membuat Samarinda berubah wajah menjadi cantik dan tampan.
Kadri Oening selaku pelopor perubahan ini mendapat julukan sebagai ÔÇ£ Bapak Pembangunan Samarinda.ÔÇØ Tetapi julukan lain ada pula untuk beliau yaitu sebagai ÔÇ£ Kadri Becak ÔÇ£. Kadri Oening mengakhiri masa jabatannya selaku Walikota Samarinda pada tanggal 28 Maret 1979 setelah sempat 2 priode menjadi wali negeri ini. ( JOBAL ) suaraborneo
Foto
1 . Walikota Samarinda H.M.Kadrie Oening
2 . Beca yang menjamur diseputar Pasar Pagi