UJUNG LIDAH UJUNG JAKAR UJUNG BADIK ASAL USUL SAMARINDA
Berdirinya Masjid Shirathal Mustaqiem di Samarinda Seberang Kota Samarinda Kalimantan Timur tidak bisa dilepaskan dari sosok berjubah putih yang membantu mendirikan empat pilar utama masjid tersebut. Cerita ini bahkan masih dipercaya sampai saat ini. Dan, sosok berjubah putih tersebut hingga saat ini tidak diketahui siapa sesungguhnya.
Hanya saja, Abdillah, juru kuncu Makam Lamohang Daeng Mangkona yang berada di Jalan Pangeran Bendahara Samarinda Seberang Kota Samarinda sedikit memberi bocoran. Diyakini sosok berjubah putih tersebut merupakan tokoh sakti Lamohang Daeng Mangkona yang dimakamkan tidak jauh dari masjid tersebut.
"Ada yang meyakini seperti itu. Tapi kepastiannya kami tidak bisa memaksakan. Silakan dengan keyakinan masing-masing," ucap Abdillah Lamohang Daeng Mangkona sendiri merupakan cikal bakal berdirinya Kota Samarinda. Ia bersama rombongan dari Wajo Sulawesi mendirikan pemukiman di Tanah Rendah pada 1668 yang merupakan rintisan Kota Samarinda.
Makam Lamohang Daeng Mangkona sendiri memiliki nisan yang cukup tinggi terbuat dari Kayu Ulin. Terdapat kaligrafi huruf Arab pada nisan yang diyakini sudah berusia lebih 200 tahun tersebut.
"Bukan cuma kepercayaan masyarakat. Tapi dari pemerintah sendiri sudah melakukan penelitian dan membenarkan bahwa makam ini merupakan peristirahatan terakhir Daeng Mangkona berdasar literatur sejarah," lanjut Abdillah.
Diceritakan, Daeng Mangkona bersama sejumlah rombongan memutuskan meninggalkan Wajo karena tidak mau tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda yang sudah menduduki Kerajaan Gowa. Perjalanannya membawa ia bersama rombongan singgah di Pulau Borneo yang saat itu masuk kekuasaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Setelah minta ijin pada Sultan Kutai, ia akhirnya mendiami Tanah Rendah kampong Melantai .. Kedatangan Daeng Mankona pada 21 Januari 1668 kemudian dijadikan Hari jadi Kota Samarinda hingga sekarang.
ORANG BUGIS
Dahulu jauh sebelum keberadaan Orang-orang Bugis yang diperintahkan Sultan Kutai untuk membangun Samarinda seberang, adalah merupakan kawasan yang berpenghuni dari keluarga Suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Namun kehidupan kedua suku ini hanya bersipat sementara melakukan penanaman padi dan lain sebagainya. Setelah Panen mereeka kembali kedaerah asal di pedsalaman Mahakam.
Namun demikian mereka akan kembali lagi apabila musim tanam tiba. Begitulah keadaan Kampong Melantai pada saat itu.
Manakala oirang-orang Bugis Wajo datang ketempat itu kedua suku ini menghilang meninggalkan perkampunbgan mereka. Pada dasarnya memang keduya suku ini tidak suka kalau ada penduduk baru apalagi bukan seketurunan mereka. Begitulah sekelumit keberadaan Samarinda waktu itu.
Nah Para Sahabat dan saudaraku, beberapa waktu ini kesehatan terganggu sehingga harus beristirahat sampai operasaanku agak sehat. Maklum Usia dan sudah memang mulai ujur, karenanya aku minta maap. Sekarang aku mulai lagi menceritakan apa yang pernah kudengar.. Begini
Menurut cerita penyebaran orang orang bugis keseluruh wilayah Nusantara termasuk di Kalimantan Timur khususnya di tanah Kutai dari keluarga bangsawan Wajo dan Bone pada tahun 1665. Waktu itu keldua keluarga bangsawan Bone dan Wajo sedang mengadakan perhelatan besar pernikahan putra putri kedua keluarga bangsawan.Sengketa berawal dari persoalan sabung ayam yang berakhir dengan tewasnya Maltolla anak bangsawan Bone ditikam anak bangsawan Wajo bernama La MaÔÇÖdukelleng, yaitu putra Agung raja Paniki.
Kematian Mattalla anak bangsawan Bone tak dapat diterima begitu saja oleh pihak kerabat Kerajaan Bone.Mereka meminta agar La MaÔÇÖDukelleng diserahkan pada Bone untuk diadili. Dengan ancaman kalau tidak diserahkan maka kerajaan Wajo akan diserang dan dihancurkan.Permintaan pihak Bone tentu saja disambut oleh pihak Wajo sebagai suatu penghinaan dan tantangan.
Seluruh kerabat bangsawan bertekad untuk tak memenuhi permintaan penyerahan LamaÔÇÖdukelleng.secara sepakat mereka menjawab tantangan tersebut dengan mempersiapkan pasukan Wajo untuk melakukan perlawanan jika diserang pihak Bone.Pertempuran terjadi antara Wajo dan Bone.
Beberapa kali serangan pihak Bone dapat dipatahkan pihak Wajo. Namun Karena pihak Bone memang memiliki kekuatan yang cukup besar, maka secara perlahan kekuatan Wajo mulai melemah.
Melihat kondisi yang semakin memarah, dan perang sudah berlangsung tiga tahun lamanya yaitu sampai pada tahun 1668, pihak kerajaan Wajo memutuskan agar La MaÔÇÖDukelleng mengungsi meninggalkan Wajo pergi ke Tanah Kutai di Kalimantan Timur.
Walau berat hati La MaÔÇÖDukelleng terpaksa meninggalkan tanah Wajo dengan tiga anaknya yaitu Peta Sibengarang,Peta To Siangka, Peta To Rame, bersama duaratus pengikutnya berlayar dengan 14 buah perahu menuju tanah Kutai. Sedang peperangan Wajo dan Bone terus berlanjut sampai pada suatu ketika Wajo dapat di kalahkan pihak Bone. Wajo dibumihanguskan dan diratakan dengan tanah. Rakyat dan bangsawan yang selamat melakukan pengungsian kemana mana,
Pelayaran bangsawan Wajo ini ternyata bukan mendarat di tanah Kutai melainkan mereka memasuki daerah Pasir Balengkong dimana ditempat itu telah berdiri Kerajaan Sadurangas.Semula mereka hanya hendak mengisi perbekalan dan air. Namun pihak kerajaan Sadurangas mengizinkan mereka menetap tinggal di daerah Pasir.
Setelah satu bulan mereka menetap disana, datang lagi rombongan kedua orang orang Wajo dan Soppeng dengan jumlah lebih banyak serta menyampaikan kekalahan yang dialami Wajo. Rombongan tersebut dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona. Dalam perundingan antara La MaÔÇÖ Dukkelleng dan Lamohang Daeng Mangkona. Diputuskan agar rombongan Daeng Mangkona tetap menuju daerah Kerajaan Kutai yang masih berpusat di Kutai Lama.
Berangkatlah rombongan yang dipimpin Daeng Mangkona menuju Kutai Kartanegara untuk meminta perlindungan dengan Raja Kutai yang waktu itu dirajai oleh Aji Pangeran Dipati Mojo Kesumo yang memerintah pada tahun 1665 ÔÇô 1668.Setelah beberapa hari mereka berlayar akhirnya sampailah mereka didaerah muara sungai Mahakam.
Sungai Mahakam adalah sebuah sungai terpanjang dan terbesar di Kalimantan Timur yang membelah bumi dengan alur melintang dari Barat ke Timur. Sedang Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri sekitar tahun 1300 dengan menurunkan raja hingga raja terakhir sebanyak 22 raja hingga tahun 1960 Yaitu Sultan Parikesit.
Sesampai di kerajaan Kutai, Daeng Mangkona lalu bersujud meminta perlindungan serta meminta diizinkan untuk tinggal dan mengabdi pada kerajaan Kutai, dengan berjanji akan menjaga ÔÇ£ Ujung Lidah, Ujung Jakar,dan Ujung Badik,sebagaimana adat yang diadatkan mereka sejak dari negeri asal mereka.
Karena dengan adat yang baik disertai kesungguhan, permintaan tersebut dikabulkan oleh Raja Aji Pangeran Dipati Mujo Kesumo. Hanya saja keberadaan mereka di tanah Kutai wajib menuruti adat yang berlaku. Unyuk kepentingan pertahanan, Lamohang Daeng Mangkona serta pengikutnya diberi tempat didaerah rantau rendah atau ÔÇ£ Kampung Melantai ÔÇ£ yang didiami oleh suku Dayak Benyuaq dan Tunjung.
Di Tanah subur yang masih berhutan lebat itu didirikanlah satu rumah besar khas Wajo Sulawesi Selatan, dipinggiran kiri sungai Mahakam. Keberadaan mereka ditempat tersebut selain untuk membuka perkampungan juga untuk kepentingan pertahanan dan pengembangan perekonomian kerajaan. Untuk itu Lamohang Daeng Mangkona dipercayakan sebagai petinggi didaerah tersebut dengan gelar ÔÇ£ Poa Adi ÔÇ£
Pemberian tempat tersebut memang tidak sia sia, apa yang diharapkan oleh Raja Kutai memang berhasil.Semakin lama kampung yang baru dibuka itu semakin berkembang serta makmur. Pendatang dari Sulawesi semakin banyak dan menetap menjadi penduduk. Hutan hutan dibabat lalu dijadikan perkebunan dan persawahan dan lain sebagainya, sehingga menjamin kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Maklum orang orang Bugis ini amat kuat bergotong royong dan rasa kesetiakawanan. Mereka adalah penganut agama Islam yang panatik.
Padahal ketika itu rakyat maupun bangsawan Kutai masih banyak yang beragama Hindu Kaharingan. Sebagiannya memang sudah pula memeluk agama Islam.
Dengan adat kesetiakawanan yang tinggi masyarakat dibawah pimpinan Daeng Mangkona atau Poa Adi ini merasa tidak ada yang berderajat lebih tinggi dari yang lainnya. Karena itu mereka disini disebut orang orang berbudi dan rendah hati. Nama ini sangat mempengaruhi keadaan daerah tersebut.Semula banyak orang menyebut daerah itu dengan nama  Sama Rendah  yang lama kelamaan berganti dengan sebutan  Samarinda. Asli nama Samarinda itu adalah yang kini disebut sebagai Samarinda Seberang.
Seiring dengan perkembangan kampung Samarinda, saat itu datang pula perantau dari Banjar, Kalimantan Selatan.Merteka berdiam ditepi kanan sungai atau diseberang Samarinda Daeng Mangkona. Orang orang Banjar ini membuka kampung kampung kecil yaitu mulai daerah Loa Buah, Loa Bakung, Karang Asam, Air Putih, hingga Karam Mumus.
Disini mereka bekerja sebagai petani dan nelayan. Keberadaan orang orang Banjar ini berkembang jauh hingga kepedalaman Mahakam antara lain di sepanjang danau Semayang dan Danau Jempang. Waktu itu kampung kampung kecil tersebut bukan saling berhubungan melalui jalan darat melainkan melalui jalan sungai yang mempergunakan sarana perahu.
Tetapi karena waktu itu Belanda mendirikan pusat perdagangan dan juga pemerintahan, maka dari kampung kampung kecil dibuat jalan saling berhubungan. Sedang Belanda semakin lama semakin besar pengaruhnya dan menjadikan tempat tersebut sebagai pusat pemerintahan di seluruh Kutai dan menjadikan tempat yang mereka diami dengan sebutan Samarinda Kota.
Memang keadaan didaerah tersebut jadi berbalik. Tadinya Samarinda yang dibangun Daeng Mangkona adalah pusat perwakilan kerajaan Kutai, kini jadi berubah karena Belanda membangun Kota dengan perkembangan lebih maju dan kemudian menyatukan daerah seberang sungai menjadi kota Samarinda yang kini disebut sebagai pusat Pemerintahan Propensi Kalimantan Timur.
Sumber
1 . Dari Sejarah kekerabatan Kesultanan Kutai dan Kesultanan Wajo
2 . Buku Kesultanan Van Borneo ditulis Hotman Von drick 1939
3 . Abdillah Juru Kunci Makam Lamohang Daeng Mangkona
4 . dari Buku perantauan anak Banjar ditulis oleh Andin Amandit
Ditulis oleh Johansyah Balham
Foto
1 . Lamohang Daeng Mangkona
2 . Robongan Daeng Makona memasuki Kampong Melantai
3 . Makam Daeng Mangkona